WARNET SEBAGAI ALTERNATIF PENGINAPAN

Kendati globalisasi sudah mulai terasa diseluruh penjuru dunia, namun masalah urbanisasi tidak pernah habis menjadi bahan pembicaraan, terutama yang berkaiatan dengan penyelesaian masalah pemukiman kaum urban.

Tokyo sebagai salah satu kota Megapolitan di Jepang, memang memiliki gemerlap yang luar biasa, namun sebagai kota yang besar bukan berarti Tokyo tidak mengalami masalah serius.

Salah satu masalah yang diderita oleh kota-kota besar adalah tingginya harga tanah, sehingga membuat harga pemukiman, baik rumah ataupun kawar sewa menjadi mahal, sehingga tidak sedikit orang yang kemudian tidak bisa beristirahat dengan layak karena penghasilan yang pas-pasan.

Kendati mencari uang di Tokyo adalah hal yang mudah untuk sebagian orang, namun bagi sebagian orang yang lain, mencari uang di Tokyo adalah hal yang susah. Salah satu kasus yang menarik untuk disimak adalah kasus, para kaum urban dengan gaji pas-pasan yang kemudian tidak memiliki tempat tinggal.

Seperti halnya beberapa pemuda yang tampak dibeberapa warnet (warung internet) di Tokyo. Di warnet-warnet ini banyak para pemuda yang tidak memiliki tempat inggal memilih untuk menginap di warnet sebagai salah satu alternatif pilihan lain ketimbang tidur di jalanan. Tentu saja hal ini menjadi masalah sosial yang serius jika terus dibiarkan begitu saja.

Seorang pemuda berusia 24 tahun, yang menyebut dirinya sebagai seorang “pengungsi”
telah merasa bosan merasakan hidup berpindah-pindah tanpa alamat yang jelas selama dua tahun terakhir. Selain itu ia juga sudah bosan dengan ruangan sempit berukuran 1,6 meter persegi dan bersekat partisi tipis dengan ruangan lain di warnet yang buka 24 jam.

Kehidupan yang serba sempit ini dimulainya ketika ia diusir dari apartementnya karena dia tidak bisa bayar biaya sewa 50 ribu yen per bulan. Namun karena jumlah uang yang menipis, membuatnya harus memutar otak untuk menemukan tempat tidur yang layak, sehingga ia menemukan ide untuk menginap di warnet.

Pemuda ini adalah lulusan diploma 2, yang datang ke Tokyo dengan mimpi bergabung dengan perusahaan yang berhubungan dengan video. Dia lulus pada tahun 2003 dan mulai bekerja sebagai seorang asisten di sebuah rumah produksi skala kecil. Namun meski dia bekerja setiap hari dengan keras, namun dia hanya menerima gaji bersih sebesar 130 ribu yen atau sekitar (11 juta rupiah) perbulan. Meski gaji ini cukup besar bagi orang Indonesia, namun tidak bagi orang Jepang. Terlebih hidup di kota besar seperti Tokyo yang mana biaya hidupnya sangat mahal.

Namun dewi fortuna tampaknya tidak memayungi dirinya. Hal ini dikarenakan ia di pecat dari pekerjaannya karena gagal bekerja dengan baik. Pada saat yang sama dia juga diusir dari apartementnya, dan mulailah dia hidup dan tinggal di warnet.

Karena tidak memiliki alamat tetap, maka dia pun susah untuk mencari pekerjaan yang tetap. Hingga akhirnya dia menemukan pekerjan paruh waktu pad amalam hari dengan bayaran harian.

Tentu saja kondisi ini tidak saja membuat kesehatan fisiknya memburuk, namun kesehatan mentalnya juga memburuk. “Yang aku pikirkan saat itu, adalah bagaimana bisa makan setiap harinya. Aku tidak bisa pergi ke rumah sakit karena tidak ada asuransi” katanya.

Hingga suatu hari ia menemukan pekerjaan yang berkaitan dengan video di kampung halamannya. Dia juga menjelaskan bahwa hidup di Tokyo adalah hal yang sangat mengerikan. “Aku tinggal di warnet karena hanya menghabiskan 1000 yen setiap malamnya. Namun aku merasa, bahwa hal itu setingkat lebih baik dibandingkan tidur dijalanan.” Tuturnya. “Aku tidak ingin kembali ke masa itu. Tidak ada yang penting dalam hidup ini kecuali hidup dengan kondisi yang sehat”.

Pada musim semi tahun ini, The Trade Union Shutoken dan beberapa organisasai lain, melakukan survey ke warnet yang tersebar di sembilan perfektur di Jepang. Hasilnya dari 94 warnet, 65 warnet memiliki pelangan yang menghabiskan waktunya cukup lama di warnet.

Masalah sosial ini ternyata menarik sebuah organisasi nirlaba, Independent Life Support Center Moyai yang terletak di Shinjuku, Tokyo. Organisasi ini berharap bisa membantu orang-orang yang memiliki nasib yang sama dengan pemuda diatas.

“Banyak orang yang tidak bisa melarikan diri dari masa-masa sulit ketika sekali terjerembab ke dalamnya. Tentu saja masyarakat dan pemerintah harus memperhatikan serius masalah ini dan menyelesaikannya dengan bantuan sosial sehingga setiap orang bisa hidup dengan layak” tutur Makoto Yuasa, ketua organisasi.

Sedangkan pada saat ini Menteri Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan berencana untuk melakukan survey terhadap orang-orang yang tinggal di warnet dalam jangka waktu pendek. (naz)

No comments: