ADA tiga pemikiran yang menjadi tantangan besar jika pasangan di Jepang ingin memiliki keturunan. Pertama, soal pekerjaan dan membentuk keluarga. Lantas, kurangnya perhatian kepada anak karena ibu dan ayah bekerja. Terakhir, yang terpenting, adalah masalah keuangan. "Semua orang beranggapan bahwa biaya membesarkan anak sangat mahal," kata seorang mahasiswa di Tokyo. Sementara, tidak banyak pasangan muda yang memiliki banyak uang. Gaji, biasanya, dihubungkan dengan usia pekerja. Apalagi, banyak lelaki dan perempuan muda dipekerjakan dengan sistem kontrak dengan bayaran rendah.
Situasi keuangan yang tidak mendukung itu makin pelik jika dihadapkan pada tingginya biaya perumahan dan pendidikan. Apalagi, bagi perempuan, memiliki anak berarti berhenti bekerja. Memang mereka keluar dari pekerjaan itu tidak selalu atas kemauan pribadi, tetapi karena beberapa perusahaan di Jepang tidak menerima lowongan untuk calon ibu. Kalaupun mereka ngotot, mereka bisa-bisa dipaksa keluar.
Dokter Kuniko Inoguchi, mantan menteri kesetaraan gender dan urusan sosial, menyebutkan, sekitar 70 persen perempuan hamil di perusahaan kecil dan menengah harus keluar dari pekerjaan mereka. Bila mereka memilih untuk kembali bekerja setelah melahirkan, situasi tempat kerja bisa sangat berat.
Banyak pasangan sulit menemukan fasilitas penitipan anak dengan harga terjangkau. Namun, bila masalah pengasuhan anak bisa teratasi, terkadang, ibu pekerja sulit mendapatkan promosi dari perusahaan.
"Banyak perempuan Jepang ingin bekerja dan punya anak," kata Mitsuko Kamaya, ibu rumah tangga. "Tetapi, terkadang, kami harus benar-benar memilih, ingin punya anak atau pekerjaan. Keduanya seolah tidak bisa sejalan," sambungnya.
Ditambahkan, bila ada sistem yang menjamin perempuan bisa kembali bekerja dan tidak mendapatkan kesulitan karena memiliki anak, pasangan merasa lebih baik memutuskan punya anak.
Selain itu, pengasuhan anak menjadi masalah. Menurut salah seorang warga senior di Jepang, satu generasi di keluarga Jepang -biasanya- hidup dalam satu rumah. "Hal tersebut baik untuk semua orang. Jadi, selalu ada anggota keluarga yang bisa mengasuh anak," katanya. Di kawasan pedesaan yang tradisinya masih terjaga, angka kelahiran berada di atas rata-rata angka kelahiran nasional.
Tetapi, banyak pasangan muda tinggal di apartemen kecil yang jauh dari keluarga. Ketika bayi mereka lahir, suami, biasanya, kurang bisa diandalkan untuk menjaga anak.
Berdasar survei gaya hidup yang dilakukan pada 2001, lelaki Jepang yang menikah hanya menghabiskan waktu 30 menit setiap hari untuk pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak. Hal tersebut memang bagian dari tradisi, yakni pria Jepang tidak semestinya memasak, membersihkan, ataupun mengganti popok anak.
Selain itu, jam kerja yang sangat panjang ditambah kehidupan sosial setelah bekerja kerap menyulitkan ayah muda untuk menjaga anaknya. "Suami teman saya baru punya anak. Namun, dia harus bekerja sampai pukul 23.00 setiap malam. Dia melihat anaknya saat sudah tidur," kata seorang pebisnis di Tokyo.
Karena itu, dalam beberapa kasus, memiliki anak hanya membuahkan perasaan kesepian dan kelelahan bagi ibu. Walhasil, kebanyakan memilih hanya memiliki satu anak.
Osaka menempati peringkat kedua kota yang paling rendah tingkat kelahirannya setelah Tokyo. Pada 2005, angkanya hanya 1,15 kelahiran per satu perempuan. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata kelahiran nasional, 1,26.
Namun, pemerintah saat ini sedang berusaha mengenalkan lebih banyak kebijakan keluarga. Sudah banyak tempat penitipan anak untuk ibu pekerja dan fasilitas lain yang buka lebih lama. Sekolah-sekolah juga menyiapkan program khusus untuk anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja. (BBC/tia)
No comments:
Post a Comment