BARU! Info Buku Tentang Jepang!

Surat dari Negeri Seberang

Ajip Rosidi terhitung sebagai penulis yang produktif dalam urusan korespondensi. Tak kurang dari 400 surat—melalui paket pos maupun dalam bentuk surat elektronik—setiap tahun dilayangkannya ke penjuru dunia. Mulai dari anak, cucu, budayawan, akademisi, politisi, hingga pejabat negara, baik orang Indonesia maupun orang asing, kerap menerima surat Ajip.


Buku ini memuat 270 surat yang dikirim dari Jepang dalam kurun waktu tahun 1980-2002. Walau lama tinggal di luar negeri, dari suratnya terbaca ia tak pernah lepas mengikuti isu di Tanah Air. Mulai dari masalah sastra, seni, budaya, film, dan penerbitan, hingga masalah agama dan politik.

Karena bersifat pribadi, isi surat sangat terbuka dan apa adanya, bahkan banyak yang bernada cukup keras. Misalnya dalam pembicaraan soal siapa yang bertanggung jawab di balik kerusuhan Semanggi. Atau juga dalam menanggapi isu kepemimpinan di Nadhlatul Ulama. Dari isi suratnya dapat dilihat intensitas kedekatan Ajip dengan lawan korespondensinya. Terhadap Mahbub Junaidi (alm), Ajip ber-" lu="" dan="" gue="" bahkan="" saling="">

Judul: Yang Datang Telanjang: Surat Menyurat dari Jepang 1980-2002
Penulis: Ajip Rosidi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xxviii+772 halaman
(RPS/Litbang Kompas).


Aktivitas Dagang Jepang di Hindia Belanda

Kemiskinan dan kesulitan hidup yang melanda Jepang pada akhir abad ke-19 mendorong sebagian rakyatnya hijrah mencari nafkah ke luar negeri, termasuk Hindia Belanda. Selain Jawa dan Sumatera, orang-orang Jepang juga banyak mendatangi Kalimantan Selatan. Umumnya para pendatang dari negeri Sakura tersebut menjalankan kegiatan sebagai pedagang. Aktivitas ini berlangsung sejak dimulainya zaman Meiji (1868) hingga berakhir pada tahun 1941.

Sebelum akhirnya membuka toko, aktivitas perdagangan dilakukan dengan cara berkeliling ke pelosok desa. Ada empat tokoh yang dikenal sebagai perintis toko Jepang yang sukses di Indonesia pada Tsutsumibayashi Kazue, Ogawa Rihachiro, Sato Shigeru, dan Sawabe Masao. Usaha yang dibangun adalah perdagangan barang impor dari Jepang seperti tekstil, obat-obatan, keramik dan aksesori, serta alat tulis.

Kesuksesan jaringan dagang ini berakhir sejak timbulnya konflik pihak Jepang dengan Pemerintah Hindia Belanda. Menjelang perang, hampir seluruh imigran Jepang yang berada di Hindia Belanda dipulangkan. Setelah berhasil mengusir Belanda, pemerintah pendudukan Jepang membawa kembali para pedagang untuk bekerja sebagai tentara nonmiliter di Indonesia. Kondisi demikian menyebabkan timbul dugaan bahwa para pemilik dan pegawai toko maupun perusahaan Jepang di Indonesia adalah agen mata-mata Pemerintah Jepang.

Judul: Apakah Mereka Mata-mata?: Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942)
Penulis: Meta Sekar Puji Astuti
Penerbit: Ombak
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xxxvi+184 halaman
(TSD/litbang Kompas)

Sumber : http://kompas.co.id

No comments: