PROGRAM SUBSIDI MAKAN SIANG DI JEPANG

Prihatin dengan makin banyaknya siswa yang tidak sarapan saat sekolah, pemerintah Jepang kini memberikan subsidi makan siang. Asupan nutrisinya pun diatur dengan detail agar mereka bisa menjadi generasi moncer.
------------------

BEL istirahat berbunyi tepat pukul 12.30 waktu Tokyo. Dengan tertib anak-anak Sekolah Dasar Nikisai antre di ruang makan. Tak ada yang saling menyerobot. Selesai mengambil nampan, piring, dan mangkuk, antrean siswa beralih menuju deretan makanan. Di situ para siswa yang sedang piket -memakai pembungkus kepala dan masker- lalu mengambilkan makanan bagi teman-temannya.

Setelah seporsi makan siang Japanese style siap disantap, mereka duduk di bangku dan serempak mengucapkan: Itadakimasu (terima kasih atas makanannya). Saat makan, musik mengalun lembut. Namanya juga anak, senda gurau beberapa kali terdengar saat mereka menikmati hidangan yang disubsidi pemerintah Jepang itu.

Menu yang disiapkan koki sekolah hari itu: hizikigohan (nasi merah campur irisan daging), tofu masagoage (perkedel tahu), nibitashi dan tougannamisosiru (sayur rebus), nashi (buah pir), serta 200 ml susu rendah lemak.

"Jumlahnya 600 kalori per porsi. Ini sudah ditetapkan Departemen Kesehatan," jelas Yoko Kobayashi, ahli diet, yang bertugas di SD yang memiliki 20 kelas itu.

Keakraban yang tercipta itulah yang membuat mereka kian lahap menyantap makan siang sampai ludes. Tak ada yang rewel dengan sayur, seperti keluhan umumnya orang tua di Indonesia tentang anaknya yang tak suka sayur. Apalagi susu. Semua disikat habis oleh bocah-bocah lucu itu.

Setiap hari para siswa di sekolah yang dipimpin Kimiko Yabe itu menikmati makan siang yang disubsidi negara. Mereka tidak perlu membawa bekal dari rumah, apalagi jajan seperti yang sering dilakukan siswa di tanah air. "Saya selalu katakan kepada anak-anak, jika mereka sarapan dan makan siang cukup, tak akan ada yang kelaparan di sekolah," kata Yabe, ibu kepala sekolah, yang hari itu mendampingi Yoko Kobayashi.

"Dengan makanan bergizi ini, anak-anak tidak perlu lagi mengonsumsi suplemen," timpal Kobayashi.

Selain makan siang, pentingnya sarapan memang selalu ditekankan oleh para guru Jepang yang dikenal mengajar siswanya dengan "hati" itu. Bahkan, pemerintah sendiri pun gencar mengampanyekan pentingnya breakfast.

"Bangunlah lebih awal sehingga kalian punya waktu untuk sarapan." Demikian bunyi pesan kampanye pemerintah Jepang kepada anak-anak sekolah.

Otoritas setempat akhir-akhir ini prihatin melihat kian banyak generasi muda di negeri itu yang berangkat ke sekolah tanpa mengisi perut dengan makanan bergizi.

Menurut Miho Kawano, cabinet office, Government of Japan/Dietary Education Promotion Department, siswa yang tak sarapan sebelum ke sekolah ada tren naik. Pada 1995, bocah SD yang tak makan pagi 13,3 persen, 10 tahun kemudian menjadi 14,7 persen. Angka itu kian besar pada remaja. Jika pada 1995 rata-rata 18,9 persen ABG ogah sarapan, pada 2005 menjadi 19,5 persen. Dua alasan dominan yang dikemukakan adalah tidak ada waktu dan selera makan.

Soal pentingnya makan pagi itu hanya menjadi salah satu bagian dari tugas departemen yang khusus mengatur soal makanan. Tugas kantor kementerian itu terutama adalah mengedukasi pentingnya makan (food education) atau dikenal dengan sebutan syokuiku. Tujuannya, mempromosikan agar persentase warga yang peduli pada prinsip dasar makan yang seimbang naik dari 70 persen menjadi lebih dari 90 persen.

"Jepang memiliki program Health Japan 21 sebagai upaya untuk memiliki warga negara yang lebih sehat pada abad ke-21 ini," jelas Kawano.

Untuk mewujudkannya, pemerintah menggelontor dana lumayan banyak. Per tahun, anggaran untuk syokuiku itu JPY 11,3 miliar (sekitar Rp 9,266 triliun). Bandingkan dengan total anggaran kesehatan nasional Indonesia yang untuk 2007 ini Rp 19,2 triliun dan tahun depan malah bakal diturunkan menjadi Rp 17,6 triliun.

Selain untuk program makan bersama di sekolah, pemerintah mengeluarkan buku untuk anak-anak yang isinya merangsang agar mereka terbiasa makan sehat. "Kami juga membuat program orang tua dan anak masak bersama di sekolah, kemudian dinikmati bersama-sama," lanjutnya.

Soal makan bersama anak dan orang tua itu memang juga dianggap penting. Ada ancaman generasi muda meninggalkan kebiasaan makan bersama dengan keluarga. Mereka memilih menyantap makanan di luar rumah yang pilihannya cenderung fast food.

Gaya hidup tak sehat yang melahirkan generasi terancam obesitas itulah yang berusaha diperangi Jepang. Apalagi, tren obesitas pada anak muda juga terbukti terus naik. Pada 1995, hanya 12 persen generasi muda yang kegemukan. Sepuluh tahun kemudian ( 2005) angkanya melesat menjadi 19,8 persen.

Kondisi lain yang mendukung upaya menciptakan generasi sehat dan cemerlang itu adalah tren warga Jepang mengonsumsi makanan dan minuman sehat. Pemerintah melabeli dengan FOSHU (food for specified health uses). "Hingga kini, yang sudah didaftarkan 703 item," jelas Toshiaki Kitsukawa, direktur FOSHU Department.

Salah satu yang menjadi favorit, menurut dia, adalah produk yang mengandung bakteri lactobacillus.

Lho, minuman berbakteri kok malah disukai? "Tentu saja bakteri yang dimaksud adalah yang baik, bermanfaat bagi kesehatan," tandasnya. (Amri Husniati yang baru pulang dari Tokyo, Jepang)

source: www.jawapos.com

No comments: